Reach the star…

IMG

Aku pulang sekolah dengan lemas. Hari ini nilai ulangan matematika dibagikan, dan seperti  yang sudah-sudah, nilaiku tidak pernah di atas enam. Sedih rasanya. Aku ingin menangis. Aku tidak tahu mengapa aku selalu mendapat nilai jelek pada pelajaran matematika, padahal aku termasuk siswa berprestasi. Nilai-nilaiku selalau bagus, kecuali untuk mata pelajaran yang satu itu. Entah kenapa otakku rasanya sulit diajak berkompromi jika menyangkut matematika, rasanya otakku sedang marahan dengan matematika dan tidak mau membukakan pintu untuk matematika masuk.

Malas rasanya menatap angka empat yang besar pada lembar kertas ulanganku. Apalagi mengingat kertas ini harus ditandatangi orang tua. Pasti aku akan mendapatkan ceramah dan omelan dari mama. Oh kenapa untuk mata pelajaran yang satu ini aku selalu bernasib buruk?

Sore itu aku akhirnya memberanikan diri menghampiri Mama dengan memasang wajah masam, sembari berdoa dalam hati agar hari ini Mama mengalami hari yang baik di kantornya. Sebenarnya aku bisa saja memalsukan tanda tangan Mama, seperti yang pernah kulakukan pada saat aku kelas lima SD, namun aku tahu itu salah dan akhirnya aku mencoba jujur, siap sedia menghadapi segala konsekuensinya. Lebih baik aku dimarahi Mama jika mendapat nilai jelek daripada merasa tidak tenang karena telah melakukan hal yang salah.

Aku menyerahkan lembar ulangan itu dengan hati-hati dan bersiap-siap mendapat omelan, namun yang kudapati hanya senyuman masam Mama. Aku tahu dalam hati Mama pasti kecewa, tapi Mama tidak mau menunjukkannya, barangkali karena melihatku yang sudah tidak bersemangat. Dalam hati aku bersyukur memiliki orang tua yang bisa mengerti anaknya, tidak seperti kebanyakan orang tua yang hanya tahu menuntut dari anaknya tanpa berusaha mengerti dan memahami perasaan serta usaha sang anak.

“Besok ulangan perbaikan?” tanya Mama sembari menyerahkan lembaran kerta yang telah ditandatanganinya. Aku hanya mengangguk mengiyakan lalu segera beranjak ke kamar.

Di dalam kamar aku hanya tidur-tiduran, aku tidak berniat belajar sama sekali. Untuk apa aku belajar, toh hasilnya pasti sama saja, nilai-nilaiku tidak pernah beranjak dari nada dasar do re mi fa sol. Akhirnya aku menarik kesimpulan tak ada gunanya aku belajar, seperti memasukkan air ke kantung kain. Aku memejamkan mata untuk mengusir kepenatan dan tanpa kusadari aku terlelap dalam tidurku.

“Ta, bangun Nak. Sudah waktunya makan malam…” kudengar suara Mama membangunkanku. Ternyata sudah jam tujuh, berarti aku ketiduran hampir dua jam. Masih dengan mata lima watt aku mengikuti Mama ke meja makan. Di sana Papa sudah duduk menungguku. Makan malam bersama merupakan hal yang selalu diusahakan oleh keluarga kami. Makan malam merupakan waktu untuk berkumpul bersama setelah seharian masing-masing anggota keluarga beraktifitas di luar rumah.

Malam itu seperti biasa Papa menceritakan kesibukannya di kantor, bagaimana Papa menghadapi klien penting dam berhasil meyakinkannya untuk bekerja sama, Papa memang manajer yang hebat dan selalu diandalkan oleh bosnya untuk bernegosiasi dengan klien. Mama pun tak kalah seru bercerita tentang usahanya memeriksa laporan keuangan perusahaan dan berhasil membuktikan bahwa tidak ada rekayasa dalam laporan itu seperti yang diisukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang iri terhadap Mama karena Mama selalu bekerja dengan jujur dan karirnya meningkat pesat. Dalam hati aku kagum kepada orang tuaku, tapi juga merasa rendah diri karena aku tidak seperti Papa yang percaya diri dan mudah meyakinkan orang, begitu mendapat nilai jelek saja ku langsung down dan tidak percaya diri, aku juga tidak seperti Mama yang gigih berusaha keras membuktikan apa yang diyakininya, aku saja sudah menyerah menghadapi ulangan besok karena merasa otakku tidak dapat bekerja dengan normal jika harus melawan matematika. Sepanjang acara makan itu aku hanya diam saja tidak bersuara sedikit pun.

Setelah makan malam selesai, Papa mengajakku ke ruang keluarga dan Papa memberikanku sebuah kartu bergambar yang nampaknya sudah cukup tua, warna kartu itu sudah mulai pudar. Di kartu itu terpampang gambar seorang anak sedang berusaha melompat untuk menggapai bintang di langit sedangkan di bawah kakinya ada beberapa cacing tanah. Di bawah gambar itu ada sebuah tulisan dalam bahasa Inggris ‘You can try to reach the stars in the sky even it is harder than get the worms on the ground…’yang artinya ‘Kamu dapat mencoba meraih bintang di langit meskipun lebih sulit daripada meraih caing di tanah…’

Aku menatap Papa dengan tatapan heran. Aku tidak tahu apa maksud Papa menunjukkan kartu itu kepadaku.

“Kamu tahu, Ta. Waktu kecil Papa selalu mendapat nilai rata-rata, kamu tahu kan rata-rata itu seperti apa, tidak bagus tapi juga tidak jelek, padahal Papa sudah berusaha keras agar bisa lebih baik lagi seperti Om kamu. Akhirnya Papa merasa tidak ada gunanya belajar dan berusaha dan Papa memilih menerima nasib Papa sebagai si rata-rata. Sampai akhirnya Oma memberikan kartu ini kepada Papa. Oma bilang Papa harus mencontoh anak kecil di kartu itu, meskipun lebih mudah baginya untuk mengambil cacing di tanah, tentunya dia pasti bisa mengambilnya tanpa perlu bersusah payah, tapi dia berusaha untuk menggapai bintang di langit, lihatlah bahkan tangannya saja tidak sampai menggapai bintang itu. Rasanya mustahil bagi anak itu untuk bisa meraih bintang, tapi dia tidak menyerah, dia tidak mau mengambil cacing di tanah karena yang dia inginkan adalah bintang di langit, bukan cacing di tanah. Demikian juga Papa, memang mudah untuk menyerah paa keadaan dan nasib, tidak perlu belajar dan berusaha, tetapi Papa harus terus berusaha seperti anak itu, agar Papa bisa mendapat nilai di atas rata-rata. Yang penting adalah sikap kita untuk tidak mudah menyerah dalam mencapai sesuatu yang kita inginkan, meskipun itu tidak mudah.”

Wow, mendengar penjelasan Papa aku jadi merasa malu pada diriku sendiri. Papa dan Mama adalah orang yang tidak mudah menyerah dalam berusaha dan sebagai anak mereka tentunya aku juga harus demikian. Aku senang Papa mau memberikanku kartu itu, dan seperti Oma yang dulu memberikan kartu itu kepada Papa dan Papa selalu menyimpannya, kartu itu juga akan selalu kusimpan. Aku mau seperti Papa dan anak dalam kartu itu, tidak mudah menyerah, meskipun rasanya sulit untuk meraih bintang aku akan terus berusaha, aku tidak akan menyerah. Aku baru tahu ternyata dulu Papa juga bukan anak yang pintar, bahkan Papa menjuluki dirinya si rata-rata, berarti aku lebih hebat dari Papa, aku bisa mendapatkan nilai bagus dalam semua mata pelajaran kecuali matematika, aku mulai menyombongkan diri sendiri. Tapi aku kagum pada Papa karena berhasil mengalahkan dirinya sendiri, Papa tidak lagi menjadi si rata-rata tapi Papa sekarang menjadi seorang yang sukses.

Aku segera bangkit, mencium pipi Papa, berlari menuju kamarku dengan kartu pemberian Papa di tanganku. Aku bertekad untuk belajar dan mengalahkan matematika. Jika Papa saja sudah membuktikan diri bahwa Papa bisa berhasil, maka aku juga harus bisa, bukankah aku anak Papa. Dengan bersemangat aku membuka buku matematikaku, mengambil kertas kosong dan mulai mencoret-coret, berlatih mengerjakan soal demi soal, dan kartu bergambar anak yang melompat berusaha meraih bintang itu kutempelkan di dinding tepat di atas meja belajarku…

**

Sebuah cerita yang pernah kubaca ketika aku masih kecil dulu. Aku lupa sama sekali jalan ceritanya. Yang kuingat adalah kartu bergambar anak yang berusaha meraih bintang daripada mengambil cacing di tanah. Poin yang tertanam di otakku adalah aku tidak boleh mudah menyerah. Aku harus memiliki tujuan dan terus berjuang untuk mencapinya, tak peduli seberapa sulitnya dan banyaknya rintangan yang harus kuhadapi. Aku bisa saja menyerah dan mengambil cacing di tanah tapi aku takkan pernah mendapatkan bintang jika aku berhenti berusaha untuk meraihnya…

Leave a comment